Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, May 25, 2011

Kebanggaan Pendakwah


Dakwah yang sedang kita pikul sekarang ini bukanlah dakwah yang baru bahkan ia adalah sebuah gerakan dakwah yang mempunyai akar sejarah yang panjang di mana kita tidak kekurangan dari segi rujukan dan pengalaman.
Rujukan dan pengalaman yang ada pun bukan hanya dari segi keberhasilan dan kejayaannya semata-mata, tetapi juga diiringi dengan peristiwa-peristiwa kegagalan dan kegelinciran pelakunya di sepanjang zaman.


Memang, kegagalan dan kegelinciran pelakunya tidaklah sepatutnya menjadi kebanggaan generasi penerus, namun semua itu merupakan kekayaan dakwah yang menjadi modal untuk bekerja lebih baik dan lebih berhasil di masa-masa yang mendatang.

Sejak dahulu hingga sekarang, kebanggaan para pendakwah akan kebenaran dakwah yang dibawanya sentiasa menjadi sumber kekuatannya dalam dakwah dan perjuangan.
Ianya menjadi sumber kekuatan kerana ia yakin dan ‘tsiqah’ dengan janji Allah samada :
  1. Kemenangan di dunia dengan tegaknya syariat dan nilai Islam.
  2. Gugur syahid di jalan yang mulia menuju cita-cita tertinggi.
Tarbiyah yang kita laksanakan selama ini mestilah mampu meningkatkan kualiti iman dan amal kita. “Izzah” (kebanggaan) kita terhadap Islam juga mestilah semakin besar.
Dengan kebanggaan tersebut, seseorang diharapkan tidak akan terbuai dengan kesenangan dunia, meskipun halal.
Dengan kebanggaan itu pulalah seseorang terus bekerja dan berjuang untuk cita-cita dan tidak tergoda untuk istirehat atau meminta izin beberapa saat untuk mengejar tujuan duniawi tertentu atau terlalu memikirkan keadaan keluarga, isteri dan anak-anak.
Sekali lagi kita seharusnya mengimbau akan keteguhan dan ketegaran Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, seorang ahli hadits, ahli fiqh (Imam Mahzab Hanbali) dan seorang pendakwah.
Dalam kitab ‘Thabaqat Al Hanabilah’ disebutkan bahwa ketika Ahmad bin Daud, Abu Sa'ud Al Wasithi menemui Imam Ahmad di penjara sebelum beliau disebat, ia berkata kepadanya :
"Wahai Abu Abdullah (Imam Ahmad), Kamu mempunyai tanggungan keluarga yang perlu Kamu urus, Kamu juga mempunyai anak serta Kamu sudah uzur (kerana usia),"
Dengan mantap dan ‘izzah’ imaniyah, beliau menjawab :
"Jika demikian cara berfikir Kamu wahai Abu Sa'ud, maka sebenarnya Kamu sudah istirehat dari perjuangan."
Pemikiran dan perkataan semacam ini sudah banyak terlontar dari para pendakwah.
Pendakwah yang berniat untuk pencen biasanya ingin menghabiskan sisa usianya untuk :
  1. Kariernya.
  2. Keluarganya.
  3. Kehidupannya.
  4. Cita-cita peribadinya.
Mereka biasanya akan sibuk dengan :
  1. Usaha mereka.
  2. Perniagaan mereka.
  3. Keluarga mereka.
  4. Cita-cita kehidupan mereka.
Mereka beranggapan bahwa mereka sudah selesai melaksanakan kewajibannya ketika mereka masih muda dahulu dan ketika mereka masih sangat diperlukan oleh dakwah.
Dalam pandangan mereka, sekarang dakwah sudah mempunyai aktivis-aktivis baru yang segar dan siap sedia untuk menghabiskan waktu mereka di jalan dakwah ini sama sepertinya dahulu.
Pada hakikatnya ucapan-ucapan mereka itu adalah ucapan :
  1. Peristirehatan dari segala tugas dakwah.
  2. Orang yang tertipu dengan pemahaman keislaman mereka yang sempit.
Hakikatnya, perjuangan Islam tidak mengenal kata istirehat sehingga ketentuan Allah datang kepada kita, samada menang atau gugur syahid.
Kejayaan kita di dunia samada dalam bidang pekerjaan atau kemajuan dalam apa-apa bidang yang kita ceburi sekalipun tidak akan bermakna jika ianya tidak menambah keteguhan dan pengorbanan di jalan dakwah.
Apakah nilai seseorang yang menjadi ahli perniagaan yang berjaya jika ia tidak mampu mencontohi Utsman bin Affan ra atau Abdul Rahman bin Auf ra atau Abu Bakar As Siddiq ra atau sahabat lainnya yang berhasil dalam usaha-usaha keduniaan mereka, namun tidak pernah meninggalkan dakwah, bahkan mereka menjadi tulang belakang utama dakwah di zaman Rasulullah saw.
Keletihan dan kepenatan kita dalam dakwah dan tarbiyah tidaklah :
  1. Membuatkan ajal kita menjadi cepat.
  2. Memendekkan usia kita.
  3. Membuatkan tubuh kita menjadi kurus.
Namun, semua itu justeru akan meninggikan darjat para pendakwah dan membuatkan usia mereka menjadi lebih bermanfaat dan penuh dengan keberkatan.
Cuba kita lihat apa yang dirasai oleh Abu Nashr, Bisyr bin Al Harits Al Hafi, seorang zahid dan ahli hadits yang dipercayai pada zaman Imam Ahmad yang terlepas dari sasaran penguasa kerana kemasyhurannya dalam sikap zuhud dan kecintaan masyarakat kepadanya.
Ia terkenal dengan kecintaannya kepada Imam Ahmad.
Pada hari Imam Ahmad disiksa oleh tukang pukul pemerintah Al Mu'tashim Billah, ia berkata :
"Sampai saat ini, Imam Ahmad telah disebat sebanyak 17 sebatan (dari 30 sebatan)."
Kemudian Bisyr menjulurkan kakinya, sambil melihat betis kakinya ia berkata :
"Alangkah buruknya betis (kaki) ini yang tidak terbelenggu apapun, tapi tidak dapat membela lelaki ini (Imam Ahmad)."
Ia merenungkan akan tubuhnya yang tidak dapat menambah pengorbanannya untuk Islam sebagaimana Imam Ahmad.
Dengan ‘izzah imaniyah’ (kebanggaan iman), Imam Ahmad tegar menghadapi fitnah dan ujian ke atas dirinya.
Jika bukan kerana keimanan dan ‘tsiqah’ kepada Allah, niscaya beliau tidak akan ‘tsabat’dan ‘istiqamah’ di jalan kebenaran, mengakui dan mengimani bahwa Al Qur'an adalah‘Kalamullah’ dan bukannya makhluk, yang di turunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk kepada manusia.
Buah ‘izzah imaniyah’ yang mampu dirasakan oleh seseorang pendakwah adalah sebuah kesedaran bahwa dalam Islam terdapat kekuatan yang hakiki yang terpancar dalam diri seseorang untuk menonjolkan Islam yang utuh.
Dengan ‘izzah imaniyah’, meskipun kebanyakan orang tertipu dan tersasar dengan fitnah dunia atau godaan dunia, namun seorang pendakwah mampu bertahan dan dapat menonjolkan Islam dalam dirinya agar umat dan generasi penerus tidak akan ikut terjebak dengan doktrin dan godaan yang wujud.
Sebelum Imam Ahmad menzahirkan peribadinya sebagai umat, jauh sebelum itu Nabi Ibrahim as pernah menonjolkan diri baginda sebagai imam (umat).
Penegasan Allah dalam Al Qur'an tentang hal itu merupakan catatan yang mesti difahami agar tidak muncul sikap pesimistik dalam diri pendakwah ketika ia hanya seorang diri perlu memainkan peranan utama unutk menonjolkan nilai-nilai Islam.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (umat) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sejali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutuhan (Tuhan).” (QS An Nahl : 120)
Ibnu Taimiyah memberi komentar bahwa ketika itu, Nabi Ibrahim as hanya seorang diri sahaja yang beriman, sementara masyarakat masih dalam kekufuran dan kejahiliyahan.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as berkata kepada isterinya, Sarah :
"Wahai Sarah, tidak ada seorang pun di muka bumi saat ini yang beriman kecuali aku dan engkau."
Dari peristiwa ini, dapat disimpulkan bahwa rasa keterasingan pada diri seorang mukmin bukanlah keterasingan yang hakiki.
Justeru, masyarakat yang sesat dan kafir itulah sebenarnya yang asing dan tersesat di dunia yang luas ini sehingga ketika sebahagian orang menyangka bahwa Abdul Wahab 'Azzam berada dalam keterasingan dengan cepat ia meluruskan padangan tersebut dengan mengatakan :
"Salah seorang temanku berkata bahwa ia melihatku sebagai orang asing di tengah manusia, tanpa kawan seorang pun.
Aku katakan kepadanya,
"Penilaian Kamu tidak benar, justeru merekalah yang asing (dalam dunia masing-masing yang sempit dan gelap). Aku berada di duniaku yang luas dan inilah jalanku (yang jelas dan terang)."
Adapun “ghuraba’” (keterasingan) yang disebutkan dalam hadits Nabi (thuuba lil ghurabaa')adalah keterasingan dalam realiti.
Ertinya, asing kerana kurang dan sedikitnya jumlah mereka dibandingkan dengan masyarakat banyak.
Sedangkan di dalam hati dan perasaan sesungguhnya seorang mukmin dekat dan akrab dengan nilai-nilai keimanan serta jauh dari keterasingan nilai rabbani.
Kalaulah para pendakwah sentiasa sedar (yaqazhah) bahwa dirinya memang memiliki perbezaan dibandingkan dengan orang lain, maka seharusnya ia mesti bersedia untuk berbeza dengan orang lain ketika menghadapi masalah, rayuan dan godaan dunia.
Jangan sampai ketika dunia belum dipersembahkan kepada kita, kita mampu ‘istiqamah’dan ‘tsabat’ di jalan dakwah dengan kerja dan pengobanan.
Namun, kemudiannya ketika dunia berada di hadapan kita, ternyata kita tidak ubah seperti kebanyakan ahli dalam masyarakat di mana :
  1. Kerja dan pengorbanan dakwah kita berkurang.
  2. Akhlak dan gaya hidup kita berubah seperti kebanyakan orang.
  3. Kemungkinan kita justeru bersikap seperti seorang peribadi yang seolah-olahnya tidak pernah tersentuh oleh tarbiyah.
  4. Kita menjadi was-was dengan orang yang dulunya dekat dengan kita, ketika ia datang kepada kita atau menghubungi kita di mana kita akan merasa curiga bahwa ia akan meminta bantuan atau dana untuk dakwah atau keperluan saudara kita yang memerlukan bantuan.
  5. Kita takut, ia akan mengingatkan kita akan nilai-nilai ilahiah dan ukhuwah.
  6. Kita takut untuk diingatkan bahwa kejayaan dan kenikmatan dunia yang kita perolehi adalah hasil dari dakwah.
Sekali lagi, jangan sampai kita takut :
  1. Akan nasihat dan teguran yang baik.
  2. Kepada kebenaran yang datang kepada kita.
  3. Untuk diluruskan.
  4. Untuk diperbaiki.
Oleh yang demikian, marilah kita kembali kepada nilai ilahi yang sentiasa membuatkan hati dan langkah kita menjadi tenang.
Semoga gejala yang wujud ini tidak akan sampai menjadi suatu fenomena biasa dan mudah-mudahan kita diberi keteguhan oleh Allah swt untuk menjadi penerus risalah ilahi dalam menebar nilai rabbani di tengah-tengah masyarakat.
Ya Allah, jadikanlah Iman dan Islam sentiasa menjadi kebanggaan kami dalam situasi apapun. Janganlah Engkau jadikan godaan dunia sebagai pemudar rasa mulia dan bangga kami kepada RisalahMu yang tinggi ini. Biarlah rasa keterasingan kami itu hanya di mata masyarakat tapi tidak di sisi penglihatanMu yang Maha Mengasihi hamba-hambaMu yang berjuang di jalanMu.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

Laman-Laman