Berikut adalah tambahan beberapa lagi elemen-elemen yang unggul yang dimiliki oleh kerajaan Nabi Sulaiman yang boleh juga kita pelajari dalam usaha untuk menerapkan keunggulan budayanya di dalam institusi gerakan kita.
KESEBELAS : RABBANIYAH
Kerajaan Nabi Sulaiman walaupun kaya raya, tidak menjadikannya lupa diri, bahkan kekayaannya itu sendiri bukanlah tujuan hidupnya melainkan sebagai wasilah dakwahnya sehingga tidak berlaku tradisi rasuah atapun mudah dibeli oleh sebarang bentuk material lainnya.
Di era globalisasi dan pasaran bebas ketika ini, putaran keluar masuk harta sesungguhnya tidak dapat dielakkan. Jika tidak berhati-hati dari mana sumbernya dan untuk apa, maka seseorang itu akan terbeli oleh dunia.
Contohilah sikap Nabi Sulaiman ketika diuji dengan hadiah berupa material oleh ratu Balqis.
”Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa hadiah), dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa oleh para utusan itu.” (QS An Naml : 35)
Inilah sikap Nabi Sulaiman :
”Maka ketika para utusan itu sampai kepada Sulaiman, dia (Sulaiman) berkata, ”Apakah kamu akan memberikan harta kepadaku lebih baik daripada apa yang Allah berikan kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (QS An Naml : 36)
Bangunan tradisi Nabi Sulaiman dan kerajaannya adalah bangunan keseimbangan antara kekuatan kerohanian keimanan dan sumber kekayaan material kerajaan.
Dari segi material, Nabi Sulaiman membangun kerajaannya dengan kemegahan-kemegahan sehingga boleh dianggap sebagai projek-projek mercusuar seperti bangunan-bangunan yang tinggi, patung-patung yang monumental bahkan piring-piring besar sebesar kolam dan lain-lain.
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk (yang tetap berada) di atas tungku.” (QS Saba’ : 13)
Kemegahan-kemegahan bukanlah suatu perkara yang ‘taboo’, bahkan dalam interaksi antara negara dan peradaban, perkara ini menjadi penting bagi sebuah persaingan dengan kerajaan lainnya kerana menaklukkan kesombongan kemegahan material kerajaan lain dengan kemegahan material yang lebih dahsyat dengan dihiasai akhlak yang tinggi adalah bentuk ketawadhu’an juga.
Namun, kemegahan ini adalah dalam konsep zuhud, iaitu tidak dimasukkan ke dalam hati, cukup di tangan sahaja dan bukan menjadi tujuan hidup.
Bagi kita, secara individu, kekayaan itu jangan menyebabkan kita terlena, tapi dalam konteks institusi, kekayaan gerakan, jamaah, perusahaan, organisasi malah sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting.
Yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah niat kolektif kita, ketelusan dan pertanggungjawaban serta tidak menyakiti perasaan mereka yang kurang berkemampuan.
Keseimbangan Rabbaniyah antara kekuatan keimanan dan material ini tercermin pula dalam Al-Qur’an surah Al-Hadid (Besi) ayat 25 dengan tiga perkara :
- Al-Kitab (Wahyu).
- Al-Mizan (Keseimbangan).
- Al-Hadid (Besi).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan Rasul-rasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al-Hadid : 25)
Mentadabbur ayat ini akan menyedarkan kita betapa umat Islam begitu tertinggal dari segi teknologi material yang sebenarnya telah diisyaratkan kepentingannya oleh Allah swt 1,400 tahun yang lalu.
Perkara ini menjadi suatu kepentingan bagi kaum muslimin yang bekerja dalam bidang pembangunan, perlombongan, telekomunikasi, teknologi dan lain-lainnya agar mengukuhkan kekuatan teknologinya untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kebaikan dan membela agama Allah dan RasulNya.
KEDUABELAS : KETENTERAAN YANG KUAT
Dalam konteks pertahanan ada sebuah pepatah masyhur yang berkembang :
“Barangsiapa yang mengharapkan perdamaian maka bersiaplah menghadapi peperangan. Begitu pula dalam konteks dialog peradaban, ketika komitmen damai secara politik atau ekonomi itu tidak ada, maka kekuatan ketenteraan adalah jawaban terakhir.”
Oleh yang demikian, perlumbaan kekuatan ketenteraan dunia sentiasa mengarah kepada usaha persiapan ini iaitu :
- Jumlah pasukan.
- Tingkatan latihan.
- Teknologi persenjataan.
- Pasukan perisik dan pengintip.
di samping kekuatan-kekuatan strategik lainnya.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa sahaja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal : 60-61)
Kisah Nabi Sulaiman as mengajarkan kepada kita sebuah sikap yang menarik, ketika harga diri terhadap ajakan dakwah peradabannya tidak diindahkan, maka Sulaiman pun mengambil keputusan besar:
”Kembalilah kepada mereka! Sungguh, kami pasti akan mendatangi mereka dengan bala tentera yang mereka tidak mampu melawannya, dan akan kami usir mereka dari negeri itu (Saba’) secara terhina sedangkan mereka akan menjadi (tawanan) yang hina dina.” (QS An Naml : 37)
Apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman as bukanlah sebuah gertakan kerana bala tentera yang tidak mampu dikalahkan itu adalah satu kenyataan.
Bagi umat Islam, sesungguhnya persiapan pertahanan dan ketenteraan perlu mendapat perhatian di mana kemampuan teknologi ketenteraan dan persenjataan ini dalam hubungan antarabangsa mampu meningkatkan keupayaan dan martabat umat.
Jika kita kuat di sisi ini, maka begitu pula di sisi lainnya seperti bidang sumber manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem sosial, ekonomi, politik dan kepimpinan pemerintahan, maka umat ini akhirnya tidak akan mudah ditundukkan oleh kuasa-kuasa Barat.
KETIGABELAS : TEKNOLOGI TINGGI
Nabi Sulaiman adalah raja yang cerdas di mana usaha dakwah mesti terlebih dahulu dikedepankan sebelum kekuatan ketenteraan menjadi jawaban terakhir.
Maka Nabi Sulaiman pun menggunakan usaha pendekatan di mana di akhir kisah itu akan memukau pesona peradaban ilmu.
Perhatikanlah:
“Dia (Sulaiman) berkata, ”Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgahsananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri?” (QS An Naml : 38)
“Ifrit dari golongan jin berkata, ”Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh aku kuat melakukannya dan dapat dipercayai.” (QS An Naml : 39)
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa ternyata jin tersebut tidak dapat memindahkannya, hingga Sulaiman berdiri dari tempat duduknya.
Sekarang perhatikan orang yang berilmu mengajukan dirinya :
“Seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab berkata, ”Aku akan membawa singgahsana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgahsana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, ”Ini termasuk kurnia Tuhan untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmatNya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, Maha Mulia.” (QS An Naml : 40)
Di era sekarang kita memerlukan orang-orang yang berilmu pengetahuan seperti di atas yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan yang seluas-luasnya.
Penggunaan alat-alat mistik sangat tidak relevan untuk membangun sebuah negara yang kuat. Sebagaimana diceritakan dalam ayat di atas, orang-orang berpengetahuanlah yang dapat menghadirkan keinginan-keinginan dan kebaikan-kebaikan.
Dalam konteks peradaban, kita akan temui sebuah kenyataan bahwa peradaban yang menang adalah peradaban yang memiliki tingkatan pengetahuan dan kecanggihan teknologi yang tinggi.
KEEMPATBELAS : KREATIVITI
Ini adalah ’cara perantara’ Nabi Sulaiman untuk menguji objek dakwahnya.
Kreativiti juga bermanfaat untuk membezakan mana yang ‘tsawabit’ (tetap) sebagai‘asholahnya’ (keasliannya) dan mana yang ‘mutaghayyirat’ (boleh berubah) sebagai ruang inovasinya.
“Dia (Sulaiman) berkata, ”Ubahlah untuknya singgahsananya; kita akan melihat apakah dia (Balqis) mengenali; atau tidak mengenalinya lagi.” (QS An Naml : 41)
Dalam konteks dakwah, gerakan dan peradaban, kreativiti adalah satu perkara yang mutlak dimiliki samada dalam menciptakan sesuatu yang baru ataupun mengubahsuai warisan yang telah ada.
Kita perlu memadukan potensi otak kiri yang sangat sistemik dan terukur itu dengan otak kanan yang sangat ‘imajinatif’ dan kreatif.
Kreativiti adalah kemestian yang perlu dijelmakan dalam tradisi pembelajaran dan dakwah kita. Tanpa kreativiti, kejemuan akan menghinggap di mana selain ianya membuatkan kerja menjadi ‘stereotaip”, ia juga akan mematikan potensi-potensi yang seharusnya dikembangkan.
KELIMABELAS : DIALOG PERADABAN DAN KEMAMPUAN BERDIPLOMASI
Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis adalah kisah dialog peradaban yang mempesonakan.
Dialog ini bukanlah sebuah dialog yang bersifat toleransi melainkan ianya lebih sebagai dialog kebenaran yang menguji kualiti antara peradaban.
Pada masa yang sama juga, ia akan menguji tingkatan kemampuan berdiplomasi antara pemimpin peradaban.
“Maka ketika dia (Balqis) datang, ditanyakanlah (kepadanya), ”Serupa inikah singgahsanamu?”(QS An Naml : 42)
Agar dia tidak jatuh harga diri dan kerajaannya di depan Nabi Sulaiman, maka dia pun menjawab dengan penuh diplomasi.
Perhatikan jawabannya:
“Dia (Balqis) menjawab, ”Seakan-akan itulah dia.” (QS An Naml : 42)
Jawaban ini menunjukkan keraguan dan kehairanan Balqis atas apa yang sedang berlaku di hadapannya. Ia tidak percaya jika singgahsananya ada di depannya di lingkungan kerajaan Nabi Sulaiman.
Jika ia mengatakan ‘benar itu singgahsanaku’ maka hal itu menunjukkan kekalahannya. Jika ia mengatakan ‘tidak, itu bukan singgahsanaku’ bererti ia telah menipu dirinya sendiri, kerana secara jujurnya ia merasa takjub mengapa Nabi Sulaiman dapat menduplikasi dan membawa singgahsananya dengan begitu tepat.
Kenyataan diplomasinya tadi kemudian dia tambahkan :
“(Dan Balqis berkata), ”Kami telah diberikan pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS An Naml : 42)
Subhanallah! Itulah dia limabelas (15) elemen keunggulan dalam peradaban kerajaan Nabi Sulaiman dan Balqis.
Perkara ini juga yang seharusnya menjadi inspirasi kepada kita dalam membangun peradaban Islam.
Tradisi ilmiah, usaha perkadiran, pengurusan aset dan sumber manusia, kedisiplinan, tradisi syura, rabbaniyah, kekuatan ketenteraan hinggalah kepada kecanggihan teknologi dan kemampuan diplomasi adalah di antara elemen-elemen yang penting untuk kita terapkan dalam tradisi umat dan bangsa ini, setidak-tidaknya dalam konteks mikro di dalam organisasi kita.
SAAT DAN KETIKANYA UNTUK MENJEMPUT SEBUAH IMPIAN
Jika kita mengikuti langkah Nabi Sulaiman dalam membangun tradisi diri dan kerajaannya yang unggul, maka kita akan menemui sebuah fakta bahwa peradaban yang lain pun akan terpesona kerananya.
Ketahuilah, bahwa Ratu Balqis itu kemudiannya masuk Islam kerana tarikan kepada peradaban pengetahuan dan rabbaniyah Nabi Sulaiman yang menjelma di alam nyata.
“Dikatakan kepadanya: ”Masuklah ke dalam Istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman : ”Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”.
Benarlah kerana kerajaan kacanya dibuat di atas pantai laut yang mengombak indah dengan hiasan laut dan ikan-ikan indah di bawahnya yang dilapisi lantai tebal, telus, lut sinar dan licin yang terbuat dari kaca sehingga menipu mata bagaikan menginjak kolam lautan yang indah.
Perhatikanlah bagaimana reaksi Balqis melihat kenyataan yang agung ini:
”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS An Naml : 44)
Dari doa dan ungkapan Balqis itu, kalimah ‘ma’a Sulaiman’ mengisyaratkan sebuah pesanan yang jelas bahwa dia baru menyerahkan diri (aslama) pada Allah itu hanya bersama Nabi Sulaiman, ketika itu dan untuk seterusnya.
Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
No comments:
Post a Comment